Review Buku: Indahnya Nikmat Tuhan


Review buku oleh Fardelyn Hacky Irawani
Tulisan ini pernah dimuat di Harian ACEH, tapi saya lupa tanggal pemuatan
***


Judul Buku: Indahnya Nikmat Tuhan
Penerbit: LAPENA
Tahun Terbit: 2007
Penulis: Herman RN


Indahnya Nikmat Tuhan. Begitulah judul yang diangkat oleh penulis muda Aceh yang bernama Herman RN untuk buku yang menjadi nominasi 10 besar Sayembara Menulis yang diadakan oleh BRR beberapa waktu lalu. Dari judulnya saja, penulis sudah memberi sedikit gambaran pada pembaca bahwa untuk mengagumi kebesaran Allah, kita tidak perlu harus jauh-jauh mencarinya. Semua hal yang ada di sekitar kita, nikmat yang Allah berikan: nikmat umur, rezeki, alam dengan segala isinya nan elok yang menyimpan kekayaan yang melimpah ruah untuk dimanfaatkan, nikmat kesehatan, dan masih banyak kenikmatan lainnya yang takkan sanggup bila kita ingin menghitungnya.

Pesan tersebut terasa sangat kental pada buku yang kemudian diterbitkan oleh LAPENA ini. Sebagaimana halnya cerpen-cerpen Herman lainnya, cerita anak yang berjudul Indahnya Nikmat Tuhan (selanjutnya saya singkat menjadi INT) ini pun masih tetap mencirikan gaya seorang Herman RN: bahasanya yang mengalir, membuat pembaca merasa seperti sedang mengikuti arus air yang mengalir. Cerita dibuka dengan langsung perkenalan kepada sang tokoh; yang bernama Muhammad Rizki, seorang anak nelayan di sebuah pedesaan yang saya kira berada di sebuah daerah pesisir. Hal ini terlihat pada kalimat:
"Aku suka minta Abu ikut melaut. Sudah menjadi suatu kebiasaan di kampung kami yang dekat dengan laut, orang-orang bermata pencaharian sebagai nelayan, begitu juga keluarga kami. Jika gelombang laut tak besar, Abu pasti mengizinkan untuk ikut bersamanya."

Meskipun penulis tidak harus mengulang-ngulang kata ”Aceh” untuk menyatakan tempat berlangsung cerita, pembaca sudah cukup disodori beberapa fakta bahwa cerita ini memang bersetting di sebuah daerah di Aceh; misalnya kebiasaan orang Aceh yang suka menyingkat setiap nama yang diawali dengan Muhammad menjadi Mak atau Ismail menjadi Ma’e (meskipun tidak semua), panggilan Agam untuk anak lelaki, penggunaan bahasa Aceh dalam beberapa potong percakapan dan sedikit fakta bahwa setting dalam cerita termasuk salah satu daerah yang terkena tsunami. Yang terakhir ini bisa kita lihat dalam kalimat:
"Acara ramai-ramai seperti ini memang sering dilakukan sekolah kami ketika hari pembagian rapor tiba. Apalagi dulu, ketika laut belum menghancurkan rumah dan sekolah kami."

INT berhasil memotret kehidupan anak-anak dengan dunianya. Bersekolah, mengaji, dan bermain. Tak lupa juga penulis menyisipkan konflik permainan ala dunia anak-anak. Hal ini bisa kita baca pada bagian 3: Kejadian di Lapangan Bola. Karena sebuah peristiwa yang tak disengaja, terjadilah perkelahian antar anak-anak tersebut yang kemudian diakhiri dengan perdamaian melalui perantara sang tokoh utama. Begitulah dunia anak-anak. Sebuah dunia yang terkadang membuat kita ingin bernostalgia, kembali ke masa kecil. Meski demikian, penulis tak selalu menggambarkan mereka harus mengikuti alur kehidupan layaknya kehidupan anak-anak. Anak-anak tersebut juga terkadang harus ikut ke ladang bagi yang orang tuanya seorang petani atau pergi melaut bagi yang orang tuanya nelayan, seperti yang dilakukan oleh tokoh utama dalam buku ini.
^^^

Menulis cerita anak pada dasarnya sama saja seperti menulis cerita remaja atau cerita yang kategorinya serius. Bedanya, sasaran tulisan ditujukan terutama untuk anak-anak, dengan tidak menutup kemungkinan untuk bisa dibaca oleh orang dewasa. Setiap cerita mestinya mengandung pesan moral yang bisa diambil hikmahnya, menghibur dan menyenangkan dunia anak-anak. Saya kira penulis buku ini telah melakukannya. Banyak sekali pesan moral yang bisa kita temui. Mulai dari ajaran agama, mengagumi kebesaran Sang Pencipta, berbakti kepada orang tua, indahnya persahabatan, hingga rasa optimisme. Pesan-pesan tersebut telah tersampaikan secara nyata dalam buku ini.

Sayangnya, sepertinya penulis masih gamang dan tidak bisa melepaskan ego ketika ingin meyampaikan gagasan kepada orang lain di luar dirinya, sehingga terkesan mengurui. Selain terkesan sangat menggurui, ada beberapa pesan moral yang disampaikan penulisnya agar pembacanya tahu bahwa ’ini lho yang diinginkan oleh penulisnya’. Bila ini yang terjadi, maka pembaca tidak lagi diajak berimajinasi, karena ’pikiran’ penulis telah mendominasi.

’Pemaksaan dominasi pikiran penulis’ ini sangat terasa pada penggambaran karakter sang tokoh, yaitu Muhammad Rizki, di mana tokoh utama digambarkan begitu ’sempurna’ dalam hal sifat-sifat yang dimilkinya. Rendah hati, penyabar, anak yang berbakti dan penurut terhadap orang tua, dan suka mendamaikan teman yang berkelahi. Sang tokoh benar-benar seorang yang heroik.

Hal lainnya bisa kita lihat pada penggunaan metafora secara berlebihan yang bisa jadi terasa ’berat’ untuk dibaca anak-anak. Pada halaman 11 tertulis: "Sementara buihnya itu adalah bumbu hidup yang perlu kita pelajari. Meski laut itu biru, ia mampu mengeluarkan buih yang memutih, artinya dia senang berbuat kebaikan. Meskipun ada satu dua buah buah dan ranting yang ikut ombaknya, itu hanyalah sebentuk kecil yang mengotori keindahan laut." Dan di halaman 34 tertulis: "Rasa dikejar waktu pun masih menggerayangi alran darahku. Dalam hal ini penulis dituntut untuk bersikap lebih bijak dalam penyampaian gagasannya."

Tema yang diangkat penulis sebernarnya cukup sederhana, yakni tentang bagaimana mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan. Akan tetapi kemampuannya mengangkat tema yang sederhana dengan memadukan unsur lokal Aceh dan kemampuan penulis dalam menggarap cerita, menjadikan buku ini layak sebagai bahan perbandingan dan menjadi panduan bagi siapa saja.*
***
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

Instagram @fardelynhacky