ODHA Berhak Hidup Sehat dan Layak



Pertengahan 2008
Saat itu saya sedang praktek kepaniteraan klinik keperawatan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) di sebuah rumah sakit di Banda Aceh. Sebagai seorang mahasiswa praktek, tak banyak yang bisa kami lakukan selain memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada pasien, siapapun mereka, dari golongan dan suku apapun. Intinya tidak boleh pandang bulu, meskipun si pasien menderita penyakit yang mematikan. Tenaga kesehatan, terutama perawat adalah orang yang paling banyak bersentuhan dengan pasien dibandingkan profesi kesehatan lainnya. Namun untuk kasus-kasus yang rawan dan bisa membahayakan jiwa orang-orang yang bersentuhan dengan pasien selain keluarga, tenaga kesehatan mestilah memerhatikan keselamatan dirinya tanpa mengindahkan kondisi pasien, misalnya dengan memakai masker, handscoon (sarung tangan), atau baju pelindung. Hal ini dilakukan bukan karena perawat menganggap pasien seperti alien yang menakutkan namun lebih untuk perlindungan diri.
Begitulah ilmu tentang pencegahan infeksi nosokomial yang saya dapatkan selama saya kuliah di kampus. Infeksi nosokomial adalah infeksi silang, paling banyak terjadi di rumah sakit. Prosesnya bisa melalui udara, kontak langsung pasien dengan orang lain, atau tindakan medis yang tidak steril. Makanya ada anjuran sebaiknya anak-anak tidak dibawa ke rumah sakit saat kita mengunjungi orang sakit. Sistem pertahanan tubuh anak-anak masih lemah, jadi kemungkinan untuk terkena infeksi nosokomial menjadi lebih besar. Lha yang sudah dewasa saja tidak ada jaminan bebas dari infeksi nosokomial, apalagi anak-anak.
Selain proteksi diri, yang mesti diperhatikan juga oleh petugas kesehatan adalah sikap caring terhadap pasien, meskipun si pasien teridentifikasi penyakit yang menjadi momok semisal AIDS. Namun, terkadang teori hanya tertinggal di kampus-kampus. Prakteknya kadang sangat jauh melenceng. Begitulah yang saya saksikan ketika saya sedang praktek waktu itu.
Saat dinas shift pagi di IGD, seorang pasien laki-laki dibawa oleh istrinya untuk berobat. Saya kira bukan sekadar berobat tapi untuk mendapatkan perawatan. Lelaki itu bertubuh kecil, terlalu kurus, bermuka tirus, dan saya lihat tak ada cahaya kebahagiaan yang terpancar dari matanya. Seperti biasa, saya, teman-teman praktek dan tim kesehatan dari berbagai profesi menyambut pasien dan mewawancara si istri. Saya dan teman-teman sesama praktek mendapat jatah mewawancara si istri untuk mendapatkan info sebanyak-banyaknya  tentang riwayat penyakit sekarang dan dahulu, keluhan utama, dan sebagainya, untuk kelancaran proses pengidentifikasian penyakitnya selain berbagai pemeriksaan penunjang.
Sebagaimana si suami yang sama sekali tak mau diajak bicara, istrinya pun ternyata sangat irit dalam mengeluarkan kata-kata. Kadang seperti ragu-ragu untuk menjawab, kadang takut, dan kadang sinis. Apakah karna saya mahasiswa praktek sehingga si istri bersikap seperti itu? Begitu pikir saya.
Kami tak begitu banyak bersentuhan dengan pasien tersebut karena kondisi si pasien tidak dalam keadaan gawat, darurat, atau gawat dan darurat. Keluhan yang disampaikan oleh si istri juga keluhan yang sangat umum seperti; pasien sering demam, lemas, sesak napas, dan akhir-akhir ini tubuhnya semakin mengecil saja. Di tubuh si pasien terdapat banyak tato dan bibirnya kecoklatan pertanda bahwa si pasien adalah perokok berat. Saya dan sesama teman praktek menduga jika keluhan si pasien mungkin ada hubungannya dengan kebiasaann hidupnya yang tidak sehat. Sama sekali tidak terpikir oleh kami bahwa ternyata dia menderita AIDS. Bukan lagi sekadar terinfeksi HIV. Selama bertahun-tahun saya praktek di rumah sakit, saya sudah melihat dan bertemu dengan banyak orang yang menderita berbagai penyakit mulai dari yang ringan hingga yang kronis. Melihat orang saat sakratul maut, saya juga pernah. Tapi bertemu dengan penderita AIDS, sungguh saat itu adalah kali pertama buat saya. Penderita yang telah terjangkit HIV belum tentu menderita AIDS karena masa inkubasi virus ini yang lama. Jadi pasien memang tidak menunjukkan gejala-gejala yang mencurigakan sama sekali. Umumnya hanya seperti gejala orang yang flu.
Si pasien baru terindifikasi AIDS setelah menjalani rawatan di ruang rawat penyakit dalam pria. Pemeriksaan lab menunjukkan hasil positif AIDS. Saya seakan  dipertemukan kembali dengan pasien. Tapi saat itu, saya tak bisa lagi melihat si pasien secara langsung, apalagi mengajaknya berbicara.
Selepas masa dinas di IGD, saya kena giliran jaga di ruang rawat pria tempat pasien tersebut dirawat. Ketika saya datang, si pasien sedang berada dalam ruang isolasi dan tidak seorang pun diperbolehkan masuk, bahkan petugas kesehatan pun tidak ada yang bersedia masuk ke ruangan tersebut. Inilah yang tadi saya sebut teori yang hanya tertinggal di kampus saja.  Harusnya petugas kesehatan lebih tau apa itu AIDS dan bagaimana penularannya,  bukannya mengisolasi mereka seperti seorang pesakitan yang menderita suatu penyakit yang mengerikan. Padahal jelas-jelas AIDS tidak ditularkan melalui udara, melalui kontak pasien-perawat seperti melakukan tindakan medis, atau sekadar mengajak pasien berbagi cerita. Tapi duuuuh...ternyata mitos yang jelas-jelas mereka sudah tahu salah, telah mengalahkan logika apapun, termasuk jika itu petugas kesehatan.  Hingga akhirnya mereka mengabaikan hak hidup si pasien untuk mendapatkan perlakuan, perawatan dan pengobatan yang layak sebagai manusia.
Saya cuma bisa prihatin atas sikap beberapa petugas kesehatan yang umumnya perawat ini, yang memandang pasien seperti sampah dan barang yang tidak berguna. Ada hasrat hati ingin berbincang-bincang dengan pasien, meskipun saya tahu akan gagal karena sejak awal pasien sama sekali tidak mau diajak bicara, tapi apa daya, saya hanya seorang mahasiswa praktek. Ruangan isolasi diperlakukan dengan tidak lazim. Pintunya digembok seperti penjara. Perawat bahkan menjaga jarak dengan keluarga si pasien. Setiap pagi, dua orang perawat laki-laki masuk ke ruangan si pasien, dengan memakai baju pelindung yang sangat tebal –dengan penampilan seperti itu, saya lihat mereka menjadi seperti seorang astronot, menutup muka hingga kepala dengan hanya menyisakan mata saja, dan memakai sepatu boot. Saya jadi geli sekaligus prihatin melihat tingkah mereka. Yang mereka lakukan adalah memberikan obat untuk si pasien serta keperluan medis lainnya. Yang membuat saya miris adalah, ketika saya lihat sprei bekas si pasien ditempatkan dalam sebuah plastik, dibuang jauh-jauh lalu dibakar. Jika anda adalah keluarga pasien dan menyaksikan kejadian ini di depan mata Anda, bagaimanakah perasaan Anda? Atau, jika Anda adalah si Pasien! Apakah hati Anda tidak hancur berkeping-keping menyaksikan mereka memperlakukan Anda selayaknya bukan manusia? Padahal, mereka adalah TENAGA KESEHATAN. Mereka orang-orang pintar. 

Hal di atas harusnya tidak boleh terjadi lagi. Tidak boleh lagi ada orang yang masih memegang mitos yang salah tentang HIV/AID, apalagi oleh orang yang harusnya tahu banyak.
Jadi, teman-teman, marilah kita sama-sama membuka hati. Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) bukan alien, bukan sampah, dan bukan manusia yang tak berguna. Mereka sama seperti kita, berhak hidup layak dan berhak menghidupi keluarganya. Mereka berhak bekerja, berhak mengembangkan bakat yang dimiliki, dan berhak untuk untuk dalam lingkungan sosial. Jangan sampai kita salah kaprah dan salah persepsi. Penyakit ini memang mengerikan karena sampai saat ini belum ditemukan obatnya, tapi mereka yang menderita penyakit bukan orang-orang yang mengerikan.
Akhir kata, harapan saya semoga semakin banyak orang yang tersadarkan akan mitos yang keliru tentang HIV/AIDS. Dan yang lebih penting lagi, semoga para ilmuwan tidak lelah bekerja menemukan obat yang tepat untuk mereka yang menderita HIV.
So, ODHA? Mereka berhak untuk sehat!
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

11 comments

Write comments
Dav Dmilano
AUTHOR
10 Desember 2012 pukul 20.53 delete

Saleum,
Memang sudah seharusnya demikian kita bersikap pada mereka. Namun tetap harus diperhatikan faktor2 yang bisa menularkan virus tersebut supaya tidak terjangkiti. Semoga sukses ya

Reply
avatar
10 Desember 2012 pukul 21.19 delete

Iya bang, yang penting jangan sampai terjadi masuknya cairan tubuh mereka ke tubuh non ODHA. Kalau tidak, Insya Allah tak apa-apa
Makasih abang :)

Reply
avatar
Haya Nufus
AUTHOR
11 Desember 2012 pukul 00.00 delete

Oo Nufus nggak ketemu sama pasien itu ya kak? Karena kita misah kelompok ya.... Tapi Nufus ingat waktu seminar oleh para Relawan dan Organisasi ODHA di RS itu. Mereka juga menyayangkan bahwa sulit menemukan perawat yang rela menemani si pasien untuk dirujuk ke RS lain.

Reply
avatar
11 Desember 2012 pukul 00.15 delete

Itulah kendalanya nufus. masalahnya mitos yang beredar di masyarakat tentang ODHA sungguh membuat ruang gerak para ODHA yang sehat menjadi sulit. Ke mana-mana psti dicurigai sebagai orang aneh dan membawa penyakit kutukan Tuhan.
Hmmm..perlu sosialisasi lebih lanjut memang.
Btw, jadi ingat masa2 kita K3S nih, hehee..

Reply
avatar
Keke Naima
AUTHOR
13 Desember 2012 pukul 07.36 delete

iya mbak, sosialisasinya yang terasa kurang bgt.. Krn sy pernah kenal dg penderita ODHA dan jujur aja di awal sy sangat takut.. krn memang sosialisasinya yg terasa kurang

Reply
avatar
14 Desember 2012 pukul 00.11 delete

Iya betul mbak Chi, sosialisasi masih sangat kurang. Padahal harusnya kita lebih takut jika berdekatan dengan dengan penderita flu yang jelas2 mudah sekali penularannya, bahkan hanya melalui jabatan tangan si penderita. Lhaaa..HIV jan ndaj gitu. tapi ya itulah, karena sosialisasi ttg ifo yang benar ttg HIV yang masih kurang dan mitos yang tidak benar tadi.
TFS ya mbak :)

Reply
avatar
Mugniar
AUTHOR
15 Desember 2012 pukul 12.26 delete

Duuh kasihan ya .. saya membayangkan kondisi psikis pasien itu, apa ndak semakin down ya krn merasa dikucilkan ...

Sukses lombanya ya mbak Ecky :)

Reply
avatar
16 Desember 2012 pukul 21.02 delete

Iya, aku yang sempta menyaksikan perlakuan ke si pasien aja merasakan hal yang miris. Duuh..enath begaimana nasib tuh pasien sekarang
Makasih mbak niar

Reply
avatar
Santi Dewi
AUTHOR
18 Desember 2012 pukul 11.08 delete

Salam kenal...
Apakah dokter2nya juga bertindak sama seperti itu? seharusnya kan... dokter2 disana yg bisa menjelaskan,memberi pengertian,memberi masukan ttg bagaimana menangani org2 yg terkena AIDS ini.

Reply
avatar
18 Desember 2012 pukul 23.09 delete

Mbak Santi, sewaktu masih di IGD dan belum diketahui dia mengidap HIV/AIDS, semua bersikap biasa saja. Kebanyakan yang bertugas di IGD, dokter muda sih.
tapi saat si pasien sudah di rawat di ruang rawat dan diketahui penyakitnya, tenaga kesehata yang umumnya perawat mulai bersikap seperti yang saya ceritakan di atas. Kalau di ruangan, kan dokter tidak sepenuhnya ada di ruangan, kebetulan juga saat saya berjaga tak sempat bertemu dengan dokter dan melihat bagaimana sikap mereka. Wallahu'alam
Salam kenal kembali mbak santi dan terima kasih sudah berkunjung ke sini :)

Reply
avatar
Azhar Penulis
AUTHOR
1 Desember 2013 pukul 19.47 delete

Lama sangat tidak mendapat penyuluhan tentang sikap dalam memperlakukan ODHA ini di masyarakat, Kak Eky... Dulunya kan ada semacam iklan layanan masyarakat, tapi sekarang sudah sangat jarang. Semoga lebih digiatkan lagi di masa mendatang...

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky